Tiba-tiba ingin menulis tentang memilih jurusan kuliah, terinspirasi dari petualangan adik saya. Ia mengalami apa yang saya dulu alami; tadinya ingin kuliah Sosiologi tapi dapatnya Manajemen, seperti saya dulu, berencana masuk Hubungan Internasional tapi akhirnya mendarat di Ilmu Administrasi Negara (untung masih mirip, satu rumpun).
Dalam keluarga saya, tidak ada fanatisme terhadap jurusan tertentu. Tidak ada pandangan, anak pandai kalau SMA harus masuk IPA, kalau kuliah harus jurusan yang terkenal susah masuknya. Keluarga juga tidak mengharuskan pilihlah jurusan yang peluang kerjanya lebih besar. Yang ditekankan hanya satu, pilihlah jurusan yang paling disukai. Jurusan yang sanggup kamu jalani. Soal setelah lulus, apakah bisa dapat kerja atau tidak, jurusan apa bukanlah faktor utamanya. Kamu bisa apa akan jadi lebih penting, bukan? Mempelajari hal yang paling disukai, mungkin bisa disetarakan dengan kata-kata Kang Emil: menjadikan hobi sebagai pekerjaan adalah hal paling enak di dunia.
Tentu tidak salah kalau memilih jurusan kuliah dengan mempertimbangkan peluang kerjanya setelah lulus. Tapi, yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai demi mengejar peluang kerja, kita mengesampingkan potensi diri sendiri. Semasa SMA, saya anak IPA, kalau mempertimbangkan itu, barangkali saya memilih kuliah jurusan IPA. Tapi, saya tahu, potensi saya lebih besar di Sosial Politik, atas dasar itulah saya pindah haluan.
Begitu pula ketika memilih jurusan sekarang. Namanya panjang. Jurusannya, International Development, pathway atau prodi-nya, adalah Politics, Governance and Development Policy. Singkat kata, jurusan sekarang sangat linear dengan jurusan saya semasa Sarjana. Alasan memilihnya? Karena saya tahu di situlah minat saya. Ya, selain potensi, penting sekali mempertimbangkan minat. Kuliah adalah komitmen jangka panjang. Bagi saya, adalah wajib memilih jurusan yang tidak membuat saya bosan berurusan dengannya!
Soal peluang kerja, ada yang bertanya kenapa saya memilih jurusan sekarang. Katanya, tidak 100% linear dengan jurusan saya semasa Sarjana, dan itu akan menjadi hambatan bagi beberapa peluang kerja (padahal sebenarnya linear, tapi jurusan di luar negeri macamnya banyak sekali, bisa beda-beda nama). Tapi, bagi saya, kuliah bukan semata-mata untuk mencari kerja. Kuliah adalah ladang mencari ilmu, ilmu yang kita ingin dalami, ilmu yang ingin kita jadikan sebagai bagian dari hidup kita. Lagi-lagi bagi saya, tidak penting saya akan menjadi apa (saya tidak punya impian ingin jadi apa, tapi saya punya impian ingin melakukan apa, apalah artinya sebuah status 😛 ).
Yang terpenting adalah apapun saya menjadi (bahkan andaipun tidak menjadi apa-apa), saya bisa melakukan apa yang telah saya pilih sebagai bidang saya. Tapi, itulah pemikiran saya, seseorang yang sering dibilang “hidup seenak sendiri”, seseorang yang belajar hanya demi mendapat pelajaran 😛 (Meski kebermanfaatan ilmu dalam dunia praktik itu penting, mendalami ilmu semata-mata sebagai ilmu juga tidak kalah pentingnya. Mungkin karena ilmu memiliki ketiga ontologi, epistemologi dan aksiologi sekaligus) LOL
Potensi dan minat, itulah pertimbangan terpenting, bagi saya, kalau tidak setuju tentu boleh. Mumpung tidak setuju masih gratis! Bagi yang memilih demi peluang pekerjaan di masa depan, tentu tidak ada yang bisa menyalahkan. Meskipun, tentu harus hati-hati. Misalnya, cerita fenomenal ini disampaikan oleh ayah saya. Yaitu, ketika teman-teman beliau menyekolahkan anak-anaknya di Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa, karena katanya sekolah-sekolah kekurangan guru Bahasa Jawa. Seiring dengan pergantian menteri, saat putra-putri mereka lulus, Bahasa Jawa dihapuskan dari kurikulum. Mereka pun kecewa.
Tapi apapun pertimbangan memilihnya, mungkin yang terpenting adalah, mengutip kata-kata ayah saya,”pilihlah sendiri, karena kau yang menjalaninya!” Ini penting bagi orangtua sih, jangan terlalu ambisius, jangan asal memasukkan anak ke kampus bergengsi dan memilih jurusan “elit”, tapi perhatikan potensi dan minat si anak, mampukah dia di situ? Dapatkah dia berkembang di situ? Apakah dia akan bahagia menjalani itu?